EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS HENRY GIROUX (1943-…)
Henry Giroux meraih gelar doktor dari Cmbridge-Mellon
University pada 1977 dengan tesis doktoral tentang teori kurikulum, sosiologi
dan sosiologi pendidikan.
Ia
pernah mengajar di Boston University (1977-1983) dan kemudian di Miamy
University (1983-1992) menjadi Professor of Education and Renowwed in
Residence.
Sejak
1922, ia menjadi Waterbury Chair Professor of Secondary Education di
Penn State University.
Karya-karya
Giroux memiliki beberapa fokus penting, yaitu
- kesetaraan;
- demokrasi;
- politik kebudayaan;
- pendidikan kritis;
- guru sebagai intelektual transformatif;
- peningkatan martabat manusia;
- dan penghapusan penindasan dalam bentuk apapun.
Namun,
Goroux tidak hanya menjabarkan fokus-fokus tersebut dalam semua karyanya,ia
juga menambah persoalan keterkaitan antara pendidikan dengan pelbagai medan
produksi kebudayaan dan pergualatan lainnya.
Bagi
Giroux, pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk kedalam
wilayah publik, dan bersifat politis.
Karya
awal Giroux sangat dipengaruhi oleh Mahzab Frankfurt, khususnya Max Horkheimer,
Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas.
- Ia mengkritik dominasi nalar instrumental yang mengontrol dan mengakibatkan dehumanisasi sehingga melestarikan ketimpangan dalam masyarakat.
- Ia berpendapat bahwa pendidikan lebih dari sekedar reproduksi kebudayaan untuk memperkuat mereka yang sudah kuat dalam masyarakat dan mempertahankan marginalisasi terhadap mereka yang lemah.
Lebih lanjut, Giroux menyatakan bahwa sekolah harus
menjadi medan untuk:
- melakukan perlawanan,
- pergulatan,
- perjuangan kultural dan
- pertentangan terhadap hegemoni budaya yang telah melahirkan stigmatisasi, marginalisasi, penindasan dan pengabaian sebagian besar manusia.
Ia
menentang teoretisasi seperti Bowles, Gintis, dan Bourdieu karena pandangan
mekanistik mereka tentang reproduksi sosial melalui pendidikan, dan pengabaian
mereka terhadap kemungkinan untuk melakukan intervensi danmemutus siklus
reproduksi.
- Menurut Giroux, ketiga pemikir tersebut terlalu mengandalkan struktur dan merendahkan kemampuan manusia sebagai agen perubahan sosial.
Sekolah,
dalam pandangan Giroux, harus menjadi medan produksi dan transformasi
kebudayaan, bukan reproduksi kebudayaan.
Sekolah
juga harus menjadi ajang pemberdayaan dan pembebasan individu serta kelompok
dalam sebuah masyarakat yang adil dengan mendorong otonomi individual dan kolektif
dalam sistem demokrasi partisipatoris yang menghargai keragaman serta
kemajemukan kelompok sosial dan budaya.
- Pandangan tersebut melihat demokrasi sebagai sebuah perayaan atas perbedaan dan keragaman, bukan untuk melayani agenda minoritas elite atau ideologi yang berkuasa.
Ia berpendapat bahwa demokrasi melibatkan kritik
ideologi, dan dengan demikian demokrasi dapat disamakan dengan demokrasi
kritik.
Demokrasi partisipatoris yang kritis dirancang untuk
menciptakan keadilan guna mengatasi beragam “kesulitan”:
- kemiskinan,
- keputusasaan,
- pengangguran,
- stigmatisasi,
- generasi muda yang sakit,
- budaya massa yang kabur,
- ketamakan,
- komodifikasi,
- chauvinisme,
- seksisme,
- realisme,
- materialisme,
- dehumanisasi,
- ideologi nasionalisme yang materialistik,
- dan kota yang terus-menerus bertambah besar.
Menurut Giroux, terciptanya masyarakat yang bebas di
dalam dan melalui pendidikan harus melibatkan:
- Penolakan gagasan kebenaran dan otoritas transenden dan ahistoris, sebagai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, hak dan suara—disini dan sekarang—serta harus melibatkan pengalaman ketertindasan;
- Politisasi hubungan interpersonal untuk meningkatkan solidaritas dalam “pluralisme radikal”;
- Menanamkan bahasa kritik dan bahasa kemungkinan kepada masyarakat;
- Redefinisi sekolah sebagai wilayah publik, dimana keterlibatan dan demokrasi dapat digali dalam perjuangan untuk mencapai “masyarakat demokratis radikal”.
Bagi Giroux, tugas pendidikan berarti membuat pedagogi
lebih bersifat politis dan membuat politik lebih bersifat pedagogis.
Pendidikan radikal, menurutnya, bukan hanya menjalankan
seperangkat tehnik, melainkan mempertanyakan asumsi-asumsi yang diterima
tentang hakikat, isi dan tujuan persekolahan.
Dalam pandangannya tersebut, pendidikan radikal merupakan
suatu bentuk “politik kebudayaan” yang mempertanyakan kebudayaan siapa yang
direpresentasikan dalam pendidikan dan sejauh mana keabsahan kebudayaan
tersebut.
Pendidikan radikal mempertanyakan kategori dan status
disiplin ilmu. Tujuannya adalah membangun masyarakat lebih demokratis, yang
bergerak dari kritik ideologis dan historis atas masyarakat dan sekolah sebagaimana
adanya (contohnya, sekolah yang melayani efesiensi) menuju suatu pandangan
tentang masyarakat dan sekolah sebagaimana seharusnya (contohnya,
sekolah yang mempersoalkan cara hidup dan mengembangkan otonomi individu dalam
masyarakat egalitarian).
- Giroux mengakui gagasan tersebut bersumber dari Marxisme.
Hubungan-hubungan pendidikan, kurikulum dan sekolah dapat
saling bertentangan.
Ketiganya syarat dengan muatan ideologi dan sering
melayani kekuasaan serta struktur hubungan yang asimetris dalam masyarakat.
Bagi Giroux, keadaan ini perlu dibongkar dan tidak boleh
memperoleh legitimasi.
Giroux berpendapat bahwa para pendidikan dan anak didik
perlu menyelidiki kurikulum siapa yang digunakan dan tidak digunakan di
sekolah, atas kepentingan siapa kurikulum itu diterapkan, apa dampak penerapan
kepentingan tersebut dalam masyarakat, serta sejaun mana keabsahan kurikulum
dan pedagogi yang diterapkan di sekolah.
- Pembelaan Giroux terhadap hak-hak kelompok yang lemah dan tertindas untuk memperoleh pengakuan di dalam dan melalui pendidikan melibatkan keterlibatan intelektualnya yang luas dengan gerakan feminisme, antseksisme, antirasisme, dan antieksploitasi.
- Berkenaan dengannya, ia tidak segan mengkritik masyarakat dan kebijakan pendidikan Amerika Serikat kontemporer (dintandai dengan munculnya kekuatan konservatisme baru) yang dianggapnya sebagai perwujudan kolonialisme yang menggelisahkan di negeri sendiri.
Giroux menguraikan beberapa prinsip pendidikan kritis:
- Perhatian yang diberikan kepada pendidikan seperti yang diberikan kepada kegiatan akademik tradisional, dengan menciptakan (kembali) sekolah sebagai wilayah publik yang demokratis.
- Etika menjadi perhatian utama dalam pendidikan kritis yaitu dengan mempersoalkan praktik-praktik pendidikan yang melestarikan ketimpangan, eksploitasi dan penderitaan manusia.
- Implikasi politis dari perayaan atas perbedaan dalam masyarakat demokratis harus dihadapi.
- Bahasan yang mencakup beberapaveri solidaritas dan politik perlu dikembangkan.
- Tidak ada teks atau narasi besar yang tunggal, tetapi terdapat beberapa teks, beberapa kurikulum, beberapa versi pendidikan yang perlu diteliti secara kritis sebab terdapat beberapa versi dan ajang eksploitasi serta penindasan dalam masyarakat yang saling terkait.
- Representasi budaya dalam kurikulum harus dianggap sebagai wacana kekuasaan dan hubungan-hubungan kekuasaan yang asimetris.
- Kurikulum adalah sebuah “teks kebudayaan” yang muatannya harus bisa dikritik.
- Politik suara (politics of voice) memerlukan pengakuan atas keragaman dan hak-hak kelompok tertindas untuk memperoleh pengakuan dalam pendidikan.
Dalam
pengembangan pendidikan kritis yang menghubungkan praktik pendidikan dengan
masyarakat, guru dan pendidik harus bertindak sebagai “intelektual
transformatif”, yaitu yang menganggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik.
- Sekolah, bagi Giroux, merupakan medan perjuangan untuk memperoleh makna dan kekuasaan.
Intelektual
transformatif menggugah kesadaran anak didik pelbagai permasalahan dengan
memperlakukan anak didik sebagai agen kritis yang mempertanyakan bagaimana
pengetahuan—dan pengetahuan siapa—yang diciptakan serta disampaikan di sekolah
dan atas kepentingan siapa proses tersebut bisa berjalan.
Tujuan pendidikan menurut Giroux:
- Tujuan pendidikan kritis adalah membuat anak didik secara ideologis lebih kritis dan memiliki pandangan untuk mencapai emansipasi.
- Para guru mengajar berdasarkan pada pengalaman anak didik dan mendorong anak didik agar mampu menyelidiki dan mengkritik pengalaman-pengalaman mereka untuk memperoleh pesan ideologis.
- Tujuan selanjutnya adalah menyingkap penindasan, ketimpangan dan konstruksi identitas sosial dalam hubungan kekuasaan yang asimetris antara pelbagai kelompok, dan sekaligus anak didik mempunyai pandangan untuk melakukan transformasi cara pandang mereka terhadap situasi serta kesempatan hidup.
- Selanjutnya, mereka mangalami pemberdayaan dan emansipasi sebagai anggota komunitas dan kebudayaan yang beragam. Anak didikpun memiliki “suara” dalam sistem demokrasi partisipatoris.
Saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai ia mampu berpendapat—pendapatnya sendiri—bahwa itulah yang harus dilakukan. A.S. Neil (1883-1973).
Belajar berarti membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang selalu menunjukkan dirinya sendiri kepada kita setiap saat…, Mengajar lebih sulit daripada belajar, karena apa yang dituntut dari mengajar: membiarkan belajar. Heidegger (1889-1976).
Sistem sekolah saat ini menjalankan tiga fungsi umum gereja sepanjang sejarahnya, yakni menjadi gudang mitos masyarakat, pelembagaan kontradiksi dalam mitos tersebut, dan lokus ritual yang mereproduksi serta menyelubungi perbedaan antara mitos dan realitas. Ivan Illich (1926-2002).
0 Comments: