EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS PERSPEKTIF NEIL POSTMAN (1931-…)
Postman telah menempuh jalan panjang untuk menjadi salah
seorang filsuf paling tersohor dan berpengaruh serta penantang utama
“pendidikan elektronik”.
Karir
akademis Postman dimulai sejak 1959 di kelas pendidikan Bahasa Inggris yang
disebut American English Grammer.
Pada
1961, sebagai Associate Professor dalam bidang pendidikan Bahasa Inggris
di New York University sebelum menjadi Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi dan Budaya
di universitas yang sama, Postman—yang telah mengetahui pengaruh televisi
terhadap proses belajar—menganggap televisi sebagai sumber informasi yang mengandung
daya tarik besar dan sumber pengalaman belajar yang utama.
Benih-benih
idenya untuk Amusing Ourselves to Death mulai tumbuh sejak tahun itu.
Walaupun
dalam Telivison and Teaching of English Postman memberikan motivasi,
bantuan dan dorongan bagi para guru bahasa Inggris yang ingin menggunakan
televisi, ia dengan jelas mensyaratkan agar pengunaan televisi harus bersifat
informatif, diskriminatif (membeda-bedakan, lihat penjelasan berikut mengenai
dampak televisi terhadap masa kanak-kanak), dan kreatif.
Dengan
memulai karirnya sebagai guru sekolah dasar, Postman masih menganggap dirinya
mempunyai pandangan romamtik mengenai pendidikan dan jiwa optimistis, meskipun
budaya saat ini memperlemah proses mengajar.
Buku
terakhirnya, The End of Education—sehingga ia diundang ke Italia untuk
menerima Salvatore Valitutti International Prize atas terjemahan buku tersebut
ke dalam bahasa Italia, diharapkan dapat mengubah persekolahan dengan
memperkenalkan kembali tujuan yang inheren (inherent purposes) di
dalamnya, yakni “tujuan akhir” (ends).
Namun,
Postman memperingatkan bahwa tanpa dialog serius mengenai tujuan tersebut,
persekolahan akan “berakhir”, sebab “tanpa makna, proses belajar tidak memiliki
tujuan.
Tanpa
tujuan, sekolah akan menjadi rumah tahanan, bukan rumah tempat mencurahkan
perhatian”, “dan semakin cepat kita berusaha memperbaikinya akan semakin baik”.
Walaupun
demikian, bukan sekolah seperti ini—dan masyarakat serta budaya saat ini dengan
dominasi tehnologi—yang menjadi fokusnya karena sekolah hanya cermin dari
kepercayaan sosial dengan menempatkan dibelakang apa yang sudah ditempatkan
masyarakat didepan cermin itu.
Sekolah
dihadapkan pada dua kepercayaan yang bertentangan. Kepercayaan pertama
diarahkan menuju pemikiran kritis, yakni pemikiran mandiri dan ketrampilan yang
cukup untuk melawan dan mengubah yang salah.
Inilah
yang disebut Postman dengan mengajar sebagai kegiatan subversif (Teaching
as Subversive Activity).
Kepercayaan
kedua melihat sekolah sebagai sarana mengajar anak didik agar bisa menerima
dunia apa adanya atau bahkan menjadi subordinat dari aturan, batasan, dan
bahkan prasangka kebudayaan.
Inilah
yang disebut dengan mengajar sebagai kegiatan memelihara (Teaching as
Conserving Activity).
Pendapat
ini mencerminkan pendekatan dialektis Postman dan mitranya dalam menulis lima
buku, Charles Weingartner, bahwa untuk setiap ide yang “benar” muncul ide
alternatif, yakni lawan dari ide ynag “benar”.
Pendidikan
bukan persekolahan, dan bagi Postman, persekolahan bisa menjadi kegiatan
subversif atau kegiatan memelihara, namun terbatas.
Postman
menggambarkan jadwal kegiatan sekolah dengan kesan agak ironis, “(jadwal)
sekolah mempunyai awal yang lambat dan akhir yang cepat.
- Diantara awal dan akhir itu terdapat libur musim panas dan libur lainnya. Alasan sakit dari anak didik (sehingga tidak perlu masuk sekolah) selalu bisa diterima.
- Postman tidak sepakat dengan surat kabar The New York Times ketika pada 1971 menjulukinya sebagai “teoretikus pendidikan radikal terkemuka”.
- Meskipun setahun sebelumnya. Postman dan Charles Weingartner menulis sebuah buku pegangan bagi anak didik berusia 15-25 tahun untuk sekolah dasar, The Solf Revolution.
Pada
awal 1980-an, Postman mendesak dunia pendidikan untuk sadar akan hilangnya masa
kanak-kanak dengan menerbitkan Disappearance of Childhood dan mengajukan
pertanyaan “apakah masa kanak-kanak dapat dipertahankan?” lewat penerbitan Childhood:
Can It Be Preserved? Jawaban Postman untuk pertanyaan itu sudah jelas.
Jika
kita terus terjebak dalam tehnologi kita—termasuk televisi, masa kanak-kanak
sebagai suatu struktur sosial akan hilang. Televisi memerlukan persepsi, bukan
konepsi, sementara “membaca melibatkan pemikiran, penalaran, imajinasi, dan
penilaian”.
Bahan
bacaan bagaikan cetak biru untuk bangunan, dan darinya, tiap pembaca membangn
struktur yang detailnya sesuai ciri khas masing-masing pembaca.
Belajar membaca adalah belajar hidup dengan aturan tradisi legis dan retoris yang rumit dalam memperlakukan kalimat secara hati-hati dan tentu saja terus-menerus mengubah makna sebagai unsur-unsur baru yang terungkap secara berurutan. Mereka yang dapat membaca harus belajr untuk bersikap reflektif dan analitis, sabar dan tegas, serta selalu tenang, yakni melolak teks setelah mempertimbangkannya.
Dalam
The School Book (1973), Postman menulis bahwa sekolah, sebagai media
komunikasi dan sumber informasi, tengah mengalami kebangkrutan.
Lebih lanjut, sekolah konvensional tidak dapat bertahan
secara ekonomi dalam persaingan dengan media elektronik.
Sehingga ramalannya untuk millenium ke-3 adalah bahwa
sekolah akan seperti “mesin cuci belajar” (Learning Laundromats).
Sekolah akan terdiri dari serangkaian stasiun
belajar-mengajar yang memberikan akses pada apapun dan untuk siapapun yang
ingin belajar.
- Stasiun tersebut bukan hanya melibatkan mata pelajaran dalam kurikulum sekolah umum saat itu (1973), tetapi juga mata pelajaran lain. Sekolah akan terdapat di setiap pemukiman dan terbuka selama 24 jam. Siapapun bisa mengulang-ulang pelajaran sesuai kebutuhan, tanpa gagal dalam tes atau menjadi sasaran ejekan dari guru atau murid lain karena dianggap bodoh.
0 Comments: