EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS PERSPEKTIF JURGEN HABERMAS (1929-…)

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS PERSPEKTIF JURGEN HABERMAS (1929-…)


EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN KRITIS PERSPEKTIF JURGEN HABERMAS (1929-…)


Jurgen Habermas adalah tokoh terkemuka generasi kedua Mahzab Frankfurt, yakni sekelompok filsuf, teoretikus sosial, dan kritikus budaya yang membentuk Institute for Social Research di Frankfurt tahun 1929.

Habermas mengajar filsafat di University of Heidelberg dan University of Frankfurt, sebelum pindah ke Max Planck Institute pada 1972, dan kemudian sejak pertengahan tahun 1980-an, kembali pada jabatannya sebagai guru besar filsafat dan sosiologi di University of Frankfurt.

Walaupun lebih dikenal sebagai teoretikus dan filsuf sosial daripada pemikir pendidikan, habermas memberikan pengaruh nyata pula pada pendidikan.

Usaha awalnya adalah melanjutkan proyek teori kritik Mahzab Frankfurt dari para perintisnya (Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse) dengan kritiknya bahwa nalar instrumetal dan positivisme bersifat scientistic (kepercayaan bahwa pengetahuan yang berhargaadalah pengetahuan ilmiah, dan technicist (misalnya pemberlakuan orang dan situasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan), beserta niat politisnya untuk membebaskan (emansipasi) individu dan kelompok tidak berdaya menuju masyarakat egalitarian.

Karya awal Habermas adalah upayanya untuk memberikan dasar epistemologi pada teori sosial, dan mengajukan pandangan yang secara tersurat bersifat mengarahkan (preskriptif) dan normatif, yakni perilaku apa yang harus ditunjukkan pada demokrasi sosial.

Niatnya bukan sekedar memberikan ide tentang masyarakat dan perilaku, melainkan mewujudkan masyarakat yang didasarkan pada kesetaraan dan demokrasi bagi semua anggotanya.

Tujuan teorinya bukan sekedar memahami situasi, kekuasaan dan  fenomena, melainkan mengubahnya dengan menghapuskan kesenjangan.

Karya awal Habermas berada pada tradisi kritik Mahzab Frankfurt yang didasarkan pada prinsip fundamental keadilan sosial, dukungan terhadap kesetaraan sosial, penciptaan dan pemeliharaan “kepentingan umum” (generalizable interests), serta komitmen pada pencapaian masyarakat demokratis.

Habermas mendefinisikan ideologi sebagai "penindasan terhadap kepentingan umum" dimana sistem atau kelompok yang berkuasa beroperasi dengan cara-cara yang secara rasional lemah karena kekuasaan mereka didasarkan pada penaklukan kelompok lain, dengan kata lain prinsip perilaku mereka tidak bersifat universal (universalizable).

Kritik ideologi merupakan kritik terhadap cara kerja kekuasaan dan dominasi cara kerja yang tidak sah dalam masyarakat kapitalis.

Teori kritik Habermas mengusulkan agenda pendidikan dan memiliki metodologinya sendiri terutama kritik ideologi dan riset aksi. 
  • Ideologi—nilai, kepercayaan, dan praktik yang berasal dari kelompok dominan tertentu—merupakan alat yang dipakai oleh kelompok berkuasa untuk mendukung dan melegitimasi kepentingan tertentu—kepentingan sektiral—mereka dengan mengorbankan kelompok lemah.
  • Kritik ideologi dirancang untuk membongkar bekerjanya ideologi dalam pelbagai bidang kehudpan masyarakat dan pendidikan, serta bekerjanya kepentingan pribadi dibalik kedok kebaikan bersama, yang mungkin berlangsung secara sadar dengan memperlihatkan bagaimana ideologi tersebut mengabdikan suatu sistem yang memperkuat yang kaut dan memperlemah yang lemah, yakni menindas kepentingan umum.


Situasi tersebut tidak bersifat alami, tetapi merupakan hasil atau proses, dimana kepentingan dan kekuasaan dilindungi serta ditindas. Salah satu tugas kritik ideologi adalah membongkar situasi tersebut.

Habermas berpendapat kritik ideologi dijalankan pada empat tahap:
  • Tahap Pertama, deskripasi dan interpretasi situasi yang ada penyelidikan hermeneutik (menggunakan pendekatan vestehem dari paradigma interpretatif dari Max Weber).
  • Tahap Kedua, penerapan nalar, kritik dengan melibatkan individu dan kelompok atas pandangan dan praktik mereka akibat distorsi ideologis.
  • Tahap Ketiga, Penyusunan agenda untuk mengubah situasi-menuju masyarakat egaliter.
  • Tahap Keempat, evaluasi terhadap pencapaian situasi baru dan egalitarian yang telah terwujud. 


Habermas membagi definisi pengetahuan yang berharga dan cara memahami dalam tiga kepentingan kognitif, yakni:
  • Pertama, prediksi dan kontrol;
  • Kedua, pemahaman dan interpretasi;
  • Ketiga, emansipasi dan kebebasan (freedom).


Ia menyebutnya sebagai kepentingan
  • Teknis,
  • Praktis dan
  • Emansipatoris.


Kepentingan teknis menjadi karakter bagi metode ilmiah—positivis—dengan menekankan pada hukum, aturan, prediksi, dan kontrol atas perilaku, degan objek dan riset yang pasif—dan pengetahuan instrumental.

Kepentingan praktis dicontohkan dengan metodologi hermeneutik-interpretatif yang dijabarkan dalam pendekatan kualitatif untuk memahami dan meneliti pendidikan (contohnya interaksionisme simbolik).
  • Metodologi penelitian ini berusaha menjelaskan, memahami dan menafsirkan komunikasi dari “subjek yang bertindak dan berbicara”. Hermeneutika terfokus pada interaksi dan bahasa, yaitu berusaha memahami situasi melalui cara pandang partisipan dengan mengadopsi prinsip verstehen dari Weber.


Kepentingan emansipatoris mencakup dua kepentingan sebelumnya, namun melampaui bukan membutuhkan keduanya.

Kepentingan ini berkaitan dengan praksis, yakni tindakan yang dilakukan dengan refleksi dan bertujuan mencapai emansipasi.
  • Tujuan ganda dari kepentingan ini adalah mengungkapkan cara kerja kekuasaan dan menciptakan keadilan sosial dengan memperlihatkan bahwa dominasi dan penindasan menghambat perwujudan kebebasan individu dan sosial.
  • Tugas dari kepentingan pembentuk pengetahuan, atau tugas teori kritik sendiri adalah menggugah kesadaran mereka yang tidak berdaya tentang adanya determinan perilaku tidak bebas yang tertindas, terkekang, dan tertusuk demi pembebasan mereka.


Pemikiran Habermas berdampak besar pada pendidikan, mencakup antara lain rancangan, sasaran dan muatan kurikulum; pedagogi; evaluasi; dan penelitian.

Dalam rancangan kurikulum, tiga kepentingan pembentuk pengetahuan dapat menghasilkan tiga rancangan kurikulum:
  • Pertama, pandangan rasionalis dan behaviorisj yaitu kurikulum sebagai produk, menunjukkan kepentingan teknis, sehingga menghasilkan kurikulum birokratis.
  • Kedua, Pandangan humanistic, interpretative dan pragmatis, yaitu kurikulum sebagai praktik, pendekatan proses dengan hermenetik curriculum project untuk mewujudkan kepentingan hermeneutik.
  • Ketiga, pandangan eksistensial dan kritik ideologi, yaitu "kurikulum sebagai praksis", mewujudkan kepentingan emansipatoris. Kepentingan emansipatoris rnempermasalahkan kurikulum melalui riset aksi. Kurikulum merupakan wilayah pertarungan ideologi.


Kurikulum emansipatoris menyadarkan anak didik: 
  • Dalam muatan dan proses pendidikan;
  • Mengembangkan demokrasi partisipatoris;
  • Keterlibatan;
  • Hak suara anak didik; dan 
  • Perwujudan kebebasan eksistensial individual secara kolektif.


Kritik dan pratik berpadu menghasilkan kurikulum yang menyelidiki kebudayaan, pengalaman kekuasaan, dominasi, dan penindasan, yakni menjadikan sasaran, tujuan, dan muatan kurikulum sebagai subjek kritik ideologi dan menyusun sebuah agenda untuk mendorong pemberdayaan.

Pedagogi kritis berpendaat bahwa para pendidik harus bekerja dengan dan berdasarkan pengalaman anak didik dalam proses pendidikan, bukan menerapkan kurikulum yang mereproduksi kesejangan sosial.

Dalam pedagogi ini, guru harus mengubah pengalaman dominasi dalam diri anak didik dan memberdayakan mereka agar “terbebas” dalam tatanan demokrasi.
  • Dalam konteks pendidikan, rasionalitas komunikatif Habermas menuntut perlunya mengurangi kecenderungan technicist dengan megontrol birokratisasi dan meningkatkan proses komunikasi serta berwacana, kritik ideologi yang rasional terhadap pendidikan, kurikulum, dan praktik-praktik pedagogi.


Pendidikan memiliki kekuatan politis dan ideologis dalam mengusung agenda perubahan sosial.

Maka tak bisa dipungkiri bahwa institusi pendidikan selalu dijadikan medan dalam melanggengkan kekuasaan.

Menjadi sebuah keniscayaan bahwa pendidikan mulal kehilangan fungsinya sebagai medan transformasi sosial dan mendidik masyarakat.

Dari pemaparan tersebut jelaslah melacak epistemologi pendidikan menjadi diskursus penting dalam menggali dan merumuskan arah gerak perubahan kebijakan pendidikan yang berihak pada kaum lemah.

Usaha strukturasi (struturation) yaitu penataan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu harus menjadi agenda propaganda utama.

Sebagaimana dikatakan oleh Antony Gidden, maka sangat perlu perlu diciptakan kesadaran diskursif (discursive consciousness) yaitu ekspresi verbal oleh aktor-aktor perubahan pemikiran dari gerakan sosial atas tindakan individu dan masyarakat.
  • Pemikiran Habermas memberikan dasar teoretis yang kuat bagi suatu pemahaman bahwa kurikulum dan pedagogi ternyata bersifat problematis dan politis.
  • Teori pendidikan dan penelitian memiliki agenda subtantif, misalnya menyelidiki hubungan antara sekolah dan masyarakat tentang kesenjangan dan konstruksi sosial.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: