PARADIGMA SOSIOLOGI & PETA ANALISA SOSIAL PART #1

PARADIGMA SOSIOLOGI & PETA ANALISA SOSIAL PART #1


BAGIAN I PARADIGMA-PARADIGMA ILMU SOSIAL

Definisi Paradigma: Thomas Khun (1970)

Paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang.
Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolution. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.

Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya.

Oleh karena itu, untuk memahami berkembang maupun runtuh­nya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat kaitan­nya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-­masing yang menjadi landasan teori tersebut.

Definisi Paradigma: Patton (1975)

Patton (1975) juga memberikan pengertian paradigma sebagai "a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world”.

Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial 

Fungsi Paradigma

Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.

Paradigma, sebaliknya, mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.

Dominasi Paradigma

Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang dikalahkan“.

Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan sosial yang ber­sangkutan untuk memenangkannya.

Dominasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenar­an teori tersebut.

Dialog Paradigma

Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam Marxisme, se­suatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi.

Demikian halnya maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma.

Keberpihakan Memilih Paradigma

Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan transformasi sosial.

Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori per­ubahan sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik.

Memilih paradigma dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan dan ber­dasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut.

Becker: Whose side are we on?

Pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada siapa atau kepada apa pe­mihakan tersebut diabdikan. Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial maupun pembangunan.

Tiga Paradigma: Habermas

Pertama, Paradigma Instrumental/ Paradigma Positivisme (Instrumental Knowledge);
Kedua, Paradigma Interpretative (Hermeneutic Knowledge);
Ketiga, Paradigma Kritik (Critical/ Emancipatory Knowledge).

Paradigma Instrumental/ Paradigma Positivisme (Instrumental Knowledge).

Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objek­nya.

Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme.

Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas.

Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973).

Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial.

Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai.

Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang ber­sifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah.

Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.

Pendirian epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu alam menghadapi objek studi mereka yakni benda dan fenomena alam.

Dalam ilmu alam objeknya adalah benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam.

Tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laborato­rium, meskipun sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya.

Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis (membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpu­Ian pengetahuan atau penghapusan atas hipotesis salah yang pernah ada.

Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan peneliti­an sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak.

Selain itu, ilmu sosial bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.

Paradigma Interpretative (Hermeneutic Knowledge).

Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam para­digma ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara sungguh-sungguh.

Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenom­enology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami.

Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri". Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang membebas­kan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.

Paradigma Kritik (Critical/ Emancipatory Knowledge).

Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.

Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral.

Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan.

Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.

Implikasi Paradigma

Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya perenungan tentang morali­tas ilmu dan penelitian sosial.

Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial.

ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme.

Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.

Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menem­patkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial.

Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan pen­ciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka.

Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research.

Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya.

Pemikiran tersebut mempenga­ruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun teori.

Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut.

ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma domi­nasi dan interpretasi.

Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire

Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpenga­ruh dalam perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire.

Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan.

Namun, dengan membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai para­digma perubahan sosial.

Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang disebutnya sebagai proses 'hegemony'.

Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.

Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur.

Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan.

Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony.

Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik.

Artinya kekerasan dehuma­nisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menya­darinya.

Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didomi­nasi.

Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struk­tur yang bersifat hegemonik.

Peta Kesadaran Masyarakat: Freire (1970)

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi:
  • Kesadaran Magis (magical consciousnees);
  • Kesadaran Naif (naival consciousnees); dan
  • Kesadaran Kritis (critical consciousness).


Kesadaran Magis (magical consciousnees)

Kesadaran Magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya.

Misalnya saja suatu teori yang percaya akan adanya masyara­kat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.

Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masya­rakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural.

Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik.

Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur ter­hadap satu permasalahan masyarakat.

Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi setiap kon­sepsi atas kehidupan masyarakat.

Kesadaran Naif (naival consciousnees)

Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat.

Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial.

Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan’.

Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan.

Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak memper­tanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan.

Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.

Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.

Kesadaran Kritis (critical consciousness)

Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat.

Para­digma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya.

Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesem­patan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog "penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil".

Kesadaran ini pula yang disebut sebagai kesadaran transformatif.



Paradigma-paradigma Sosiologi: Burnell dan Morgan (1979)

  • Paradigma Fungsionalis
  • Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
  • Paradigma Humanis Radikal
  • Paradigma Srukturalis Radikal


Paradigma Fungsionalis

Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis.

Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke­setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik).

Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis (berdasarkan hukum-hukum/ dasar hukum).

Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial.

Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga.

Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya.

Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.

Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam.

Menggunakan kias ilmu meka­nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini.

Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per­geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead.

Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif.

Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per­geseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis.

Sungguhpun telah ter­jadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek­tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan  sosial.

Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.

Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)

Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat.
Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang.

Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.

Sungguhpun demikian, anggapan­anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan­dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan.

Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial.

Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.

Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.

Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi.

Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya.

Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkit­kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.

Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.

Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan.

Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting.

Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata.

Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me­nyeluruh.

Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.

Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber.

Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.



Catatan Kritis

Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori perubahan sosial dan pembangunan.

Dengan memahami paradigma sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput.

Hal ini karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang diyakini maupun yang dianutnya.

Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: