PROSES BERPIKIR KRITIS

PROSES BERPIKIR KRITIS


PROSES BERPIKIR KRITIS

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari kegiatan berpikir. Menurut Plato berpikir adalah berbicara dalam hati. Kalimat di atas dapat diartikan bahwa berpikir merupakan proses kejiwaan yang menghubung-hubungkan atau membanding-bandingkan antara situasi fakta, ide atau kejadian dengan fakta, ide atau kejadian lainnya. Setelah proses berpikir itu seseorang memperoleh suatu kesimpulan hasil pemikirannya. Menurut Dewey dalam Kokom Komalasari, berpikir dimulai apabila seseorang dihadapkan pada suatu masalah (perplexity) dan menghadapi sesuatu yang menghendaki adanya jalan keluar. Situasi yang menghadapi adanya jalan keluar tersebut, mengundang yang bersangkutan untuk memanfaatkan pengetahuan, pemahaman, atau keterampilan yang sudah dimilikinya terjadi suatu proses tertentu di otaknya sehingga ia mampu menemukan sesuatu yang tepat dan sesuai untuk digunakan mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian yang bersangkutan melakukan proses yang dinamakan berpikir.
Costa menyatakan bahwa berpikir terdiri atas kegiatan atau proses berikut: (1) menemukan hukum sebab akibat; (2) Pemberian makna terhadap sesuatu yang baru; (3) Mendeteksi keteraturan di antara fenomena; (4) penentuan kualitas bersama (klasifikasi); dan (5) menemu kan ciri khas suatu fenomen. Hal senada tentang berpikir diungkapkan oleh Robert L. Solso, dimana ia menyatakan bahwa berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribut mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep kreativitas dan kecerdasan.
Lilisari yang dikutip oleh Hasanudin mengemukakan bahwa berpikir secara umum dianggap sebagai proses kognitif, tindakan mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses kognitif anak mengalami tingkatan perkembangan yang teratur dan berurutan sesuai dengan umur anak. Seperti disebutkan oleh Piaget mengemukakan bahwa setiap individu mengalami tingkat perkembangan kognitif yang teratur dan berurutan sesuai dimulai dari tingkat sensori motor (0 – 2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional konkrit (7-11 tahun) dan operasional formal (11 tahun keatas).
Mengenai tahapan berpikir yang terjadi sejak tahap operasional kongkrit sampai tahap operasional formal, Freenkel mengemukakan tahapantahapan sebagai berikut: (1) Tahap berpikir konvergen, yaitu mengorganisasikan informasi atau pengetahuan yang diperoleh untuk mendapatkan jawabang yang benar; (2) Tahap bepikir divergen, yaitu kita mengajukan beberapa alternatif sebagai jawaban. Diantara jawaban tersebut tidak ada yang benar 100%. Oleh karena itu, kita tidak bias memperoleh suatu kesimpulan yang pasti dari berpikir divergen; (3) Tahap berpikir kritis, yaitu bahwa untuk mampu berpikir secara kritis dalam menghadapi permasalahan seseorang harus terlebih dahulu memiliki beberapa alternatif sebagai jawaban yang mungkin atas permasalahan yang sedang dihadapi. Selanjutnya menentukan kriteria untuk memiliki alternatif jawaban yang paling benar. Penentuan kriteria itu didasarkan pada pengetahuan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang dihadapi; (4) Tahap berpikir kreatif, yaitu menghasilkan gagasan baru yang tidak dibatasi oleh fakta-fakta, tidak memerlukan penyesuaian dengan kenyataan, tidak memperhatikan bukti dan bisa saja melanggar aturan logis. Ruch dalam Jalalludin Rakhmat mendefinisikan berpikir adalah manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak. Ruch menambahkan bahwa terdapat tiga macam berpikir realistik yaitu deduktif, induktif dan evaluatif. Berpikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari pernyataan umum ke khusus. Berpikir induktif sebaliknya dimulai hal-hal yang khusus kemudian mengambil kesimpulan umum. Sedangkan berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Secara teknis, kemampuan berpikir dalam bahasa taksonomi Bloom diartikan sebagai kemampuan intelektual, yaitu kemampuan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi (Bloom). Dalam bahasa lain kemampuan-kemampuan ini dapat dikatakan sebagai kemampuan berpikir kritis.
Dari beberapa pernyataan para ahli tentang definisi berpikir di atas dapat disintesiskan bahwa berpikir adalah suatu kegiatan atau proses kognitif, tindakan mental untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan keterampilan agar mampu menemukan jalan keluar dan keputusan secara deduktif, induktif dan evaluatif sesuai dengan tahapannya. Sehubungan dengan uraian di muka, dalam mempelajari matematika diperlukan suatu proses berpikir karena matematika pada hakikatnya berkenaan dengan stuktur dan ide abstrak yang disusun secara sistematis dan logis melalui proses penalaran deduktif. Oleh karena itu dalam mempelajari matematika kurang tepat bila dilakukan dengan cara menghafal namun, matematika dapat dipelajari dengan baik dengan cara mengerjakan latihan-latihan. Dalam proses mengerjakan latihan-latihan tersebutlah mulai berpikir bagaimana merumuskan masalah, merencanakan penyelesaian, mengkaji langkah-langkah penyelesaian, membuat dugaan bila data yang disajikan kurang lengkap diperlukan sebuah kegiatan berpikir yang disebut berpikir kritis. Terdapat banyak ahli yang memberikan makna pada istilah berpikir kritis. Apakah sebenarnya berpikir kritis itu? Anak yang mampu berpikir kritis akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, menjawab pertanyaan secara orisinil, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan secara efesien dan kreatif. Berpikir kritis sebagai berpikir untuk sampai pada pengetahuan yang tepat, sesuai dan dapat dipercaya mengenai dunia disekitar kita.
Menurut Richard Paul memberikan definisi bahwa: Berpikir kritis adalah mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.[1]
Menurut Edward Glaser mendifinisikan bahwa Berpikir kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.[2]
Definisi berpikir kritis juga ditegaskan oleh Robert Ennis yang menyatakan bahwa, Berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan. Michael Scriven berargumentasi bahwa berpikir kritis merupakan kompetensi akademis yang mirip dengan membaca dan menulis dan hampir sama pentingnya. Oleh karena itu, ia mendefinisikan berpikir kritis sebagai interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Sedangkan Santrock menyatakan pikiran kritis (critical thinking) adalah memahami makna masalah secara lebih dalam, mempertahankan agar pikiran tetap terbuka terhadap segala pendekatan dan pandangan yang berbeda, dan berpikir secara reflektif dan bukanhanya menerima pernyataan-pernyataan dan melaksanakan prosedur-prosedur tanpa pemahaman dan evaluasi yang signifikan. Definisi ini mengandung makna bahwa pemikiran kritis sering mengasumsikan pada penalaran kehidupan sehari-hari untuk menerima pernyataan, hasil penelitian dan melaksanakan mekanisme pembelajaran.
Berdasarkan beberapa definisi berpikir kritis yang dikemukakan para ahli di atas dapat diketahui beberapa elemen atau struktur yang melekat padanya. Paul dan Elder menyatakan bahwa Elemen-elemen berpikir ini merupakan struktur yang tidak dapat dipisahkan untuk membantu pikiran seseorang disetiap jalur pikiran. Bila seseorang memikirkan sesuatu, orang menggunakan struktur berpikir ini. Dari perspektif filosofis, Watson dan Glaser menyatakan bahwa berpikir kritis sebagai gabungan sikap, pengetahuan dan kecakapan. Kompetensi dalam berpikir kritis direpresentasikan dengan kecakapan-kecakapan berpikir kritis tertentu. Kecakapan-kecakapan berpikir kritis adalah: (1) Inference, yaitu kecakapan untuk membedakan antara tingkat-tingkat kebenaran dan kepalsuan. Inference merupakan kesimpulan yang dihasilkan oleh seseorang observasi sesuai fakta tertentu; (2) Pengenalan asumsiasumsi, yaitu kecakapan untuk mengenal asumsiasumsi. Asumsi merupakan sesuatu yang dianggap benar; (3) Deduksi, yaitu kecakapan untuk menentukan kesimpulan-kesimpulan tertentu perlu mengikuti informasi di dalam pertanyaanpertanyaan yang diberikan; (4) Interpretasi, yaitu kecakapan menimbang fakta-fakta dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan pada data yang diberikan. Interpretasi adalah kecakapan untuk menilai apakah kesimpulan secara logis berdasarkan informasi yang diberikan; (5) Evaluasi, yaitu kecakapan membedakan antara argument yang kuat dan relevan dan argumen yang lemah atau tidak relevan.
Selain Watson dan Glaser, Facione juga membagi proses berpikir kritis menjadi enam kecakapan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inference, penjelasan dan regulasi diri.

Berikut adalah penjelasan skema dari keenam kecakapan berpikir kritis utama: (1) Interpretasi, menginterpretasi adalah memahami dan mengekpresikan makna dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, penilaian prosedur atau kriteria. Interpretasi mencakup sub kecakapan mengkategorikan, menyampaikan signifikasi dan mengklarifikasi makna; (2) Analisis, menganalisis adalah mengidentifikasi hubungan inferensial dan aktual diantara pertanyaan-pertanyaan, konsepkonsep, deskripsi untuk mengekpresikan kepercayaan, penilaian dan pengalaman, alasan, informasi dan opini. Analisis meliputi pengujian data, pendeteksian argumen, menganalisis argumen sebagai sub kecapakan dari analisis; (3) Evaluasi, berarti menaksir kredibilitas pernyataanpernyataan atau representasi yang merupakan laporan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman dan menaksir kekuatan logis dari hubungan inferensial, deskripsi atau bentuk representasi lainnya. Contoh evaluasi adalah membandingkan kekuatan dan kelemahan dari interpretasi alternatif; (4) Inference, berarti mengidentifikasi dan memperoleh unsur yang diperlukan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal, membuat dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan dan menyimpulkan konsekuensi dari data; (5) Eksplanasi/Penjelasan, berarti mampu menyatakan hasil-hasil dari penalaran seseorang, menjustifikasi penalaran tersebut dari sisi konseptual, metodologis dan konstektual; (6) Regulasi Diri, berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penilaiannya sendiri.
Berkaitan dengan struktur berpikir kritis, menurut Edward Glaser bahwa keterampilanpenting dalam pemikiran kritis dapat dipandang sebagai landasan untuk berpikir kritis mencakup kombinasi beberapa kemampuan; diantaranya: (a) Mengenal masalah, (b) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalahmasalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) Mengenal asumsiasumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas dan khas, (f) Menganalisa data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (h) mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) Menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulankesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas, dan (l) membuat penilain yang tepat tentang hal-hal dan kualitaskualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pendidikan moderen berpikir kritis merupakan suatu hal yang penting untuk dikembangkan. Ada beberapa pertimbangan untuk mengembangkan berpikir kritis. Menurut H.A.R Tilaar, ada 4 pertimbangan mengapa berpikir kritis perlu dikembangkan di dalam pendidikan modern, diantaranya: (1) Mengembangkan berpikir kritis didalam pendidikan berarti kita memberikan penghargaan kepada peserta didik sebagai pribadi (respect as person); (2) Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam pendidikan karena mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan kedewasaannya; (3) Pengembangan berpikir kritis dalam proses pendidikan merupakan suatu citacita tradisional seperti apa yang ingin dicapai melalui pelajaran ilmu-ilmu eksakta; (4) Berpikir kritis merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan demokratis. Sehingga berpikir kritis haruslah dikembangkan.
Selain hal di muka keterampilan berpikir kritis dapat juga dilatih dan dikembangkan. Penner mengembangkan keterampilan berpikir kritis ini sama dengan keterampilan motorik. Salah satu pendekatan terbaik untuk mengembangkan keterampilan berpikir adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sambil membimbing siswa mengaitkan dengan konsep yang telah dimilikinya. Menurut Bonnie dan Potts secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan berpikir kritis, yaitu: (1) Building Categories (Membuat Klasifikasi), (2) Finding Problem (Menemukan Masalah), dan (3) Enhancing the Environment (Mengkondusifkan lingkungan). Disebutkan pula bahwa beberapa “ciri khas” dari mengajar untuk berpikir kritis meliputi: (1) Meningkatkan interaksi di antara para siswa sebagai pebelajar, (2) Dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada para siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalahmasalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (mengajar untuk dapat menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki). Antonius Cahya Prihandoko mengatakan bahwa sarana lain yang dapat digunakan untuk melatih siswa berpikir kritis adalah dengan mengerjakan soal cerita. Umumnya untuk dapat menyelesaikan soal cerita siswa harus menggunakan penalaran secara deduktif. Pertama-tama siswa harus mampu mentransfer soal cerita tersebut ke dalam model matematika, selanjutnya dengan konsep-konsep yang sudah dimilikinya siswa akan menyelesaikan model tersebut. Interpretasi dari penyelesaian model matematika inilah yang akhirnya digunakan sebagai jawaban atas soal cerita.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka apat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir ritis adalah suatu kegiatan atau proses kognitif dan tindakan mental untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan keterampilan agar mampu menemukan jalan keluar dan melakukan keputusan secara deduktif, induktif dan evaluative sesuai dengan tahapannya yang dilakukan dengan berpikir secara mendalam tentang hal-hal yang dapat dijangkau oleh pengalaman seseorang, pemeriksaan dan melakukan penalaran yang logis yang diukur melalui kecakapan interpretasi, analisis, pengenalan asumsi-asumsi, deduksi, evaluasi inference, eksplanasi/penjelasan, dan regulasi diri. Indikator kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Menginterpretasi yaitu a) mengkategorikan; b) mangklasifikasi; (2) Menganalisis yaitu a) Menguji; b) mengidentifikasi; (3) Mengevaluasi yaitu a) Mempertimbangkan; b) Menyimpulkan (4) Menarik kesimpulan yaitu a) Menyaksikan data; b) Menjelaskan kesimpulan; (5) Penjelasan yaitu a) Menuliskan hasil; b) Menghadirkan argumen; (6) Kemandirian yaitu a) Melakukan koreksi; b) Melakukan pengujian.

Daftar Pustaka
Bonnie dan Potts. (2003). Strategies for Teaching Critical Thinking. Practical Assesment, Research & Evaluation. [online]. Tersedia: http://www.edresearch.org/pare/getvn.asp?v=4&n=3 (diakses pada tanggal 17 Juni 2012
Filsaine Dennis K., Menguak Berpikir Kritis dan Kreatif., Jakarta: Prestasi pustaka, 2008
Fisher Alec., Critical Thinking An Introduction., Cambridge: University Press, 2004
_____________., Berpikir Kritis, Sebuah Pengantar., Jakarta: Erlangga, 2009
John W. Santrock., Life-Span Development, Jilid 1., Jakarta: Erlangga, 2002
Kennedy Leonard M, Steve Tipps., Guiding Children’s Learning of Mathematics., California: Wadsworth Publishing Company, 1991
Komalasari Kokom., Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi., Bandung: Refika Aditama, 2010
Liliasari, Beberapa Pola Berpikir dalam Pembentukan Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA, Disertasi., Bandung: UPI, 2003
Prihandoko Antonius Cahya., Pemahaman dan Penyajian Konsep Matematika Secara Benar dan Menarik., Jakarta: Depdiknas, 2006
Rakhmat Jalaluddin., Psikologi Komunikasi., Bandung: Rosdakarya, 2005
Solso Robert L., Psikologi Kognitif., Jakarta: Erlangga, 2007
Suryabrata Sumadi., Psikologi Pendidikan., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Tarwin, Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pendekatan Open Ended dalam Pembelajaran Matematika. Skripsi., Bandung: UPI, 2005
Tilaar H.A.R, Pedagogik Kritis, Perkembangan, substansi, dan Perkembangannya di Indonesia., Jakarta: Rineka Cipta, 2011



[1] “Critical thinking is that mode of thinking – about any subject, content or problem – in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking change of the structures inherent in thingking and imposing intellectual standards upon them.Diakses dari http://www.criticalthinking.org/pages/defining-critical-thinking/766
[2] Critical thinking as: (1) an attitude of being disposed to consider in a thoughtful way the problems and subjects that come within the range of one’s experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical thinking calls for a persistent effort to examine any belief or supposed form of knowledge in the light of the evidence that supports it and the further conclu sions to which it tends. Diakses dari:

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: