MUNGKIN SEMACAM REFLEKSI ATAS NIETZSCHE

MUNGKIN SEMACAM REFLEKSI ATAS NIETZSCHE


MUNGKIN SEMACAM REFLEKSI ATAS NIETZSCHE[1]


Apa yang akan kita lakukan di tengah carut marut dan silang sengkarut khaostisme dari realitas? Pertanyaan ini tentu menggelitik bagi orang yang mencoba lepas dari hidup yang mekanis, dari hidup yang melulu itu-itu saja. Bagi orang yang kesurupan filsafat, barangkali pertanyaan itu termasuk ke dalam horizon kontemplasinya, atau dalam bahasa lain termasuk ke dalam kegalauan berfaedahnya.
Namun, kita tahu bahwa setiap orang memiliki reaksi tersendiri bagi pertanyaan tersebut, entah abai entah menyuplai—menyuplai ke dalam otaknya untuk diproses. Syahdan, tipe orang yang terakhir, atau yang mereaksi secara ‘aktif’ pertanyaan tersebut, bisa dibagi ke dalam—setidaknya, dan tentu saja ini sangat simplistik—kedua macam golongan jawaban: pertama, golongan yang mengafirmasi; kedua, yang menegasi.
Bagi manusia penegasi, mereka mencoba menemukan suatu hal dibalik wajah dunia ini. Wajah, bagi mereka hanyalah topeng belaka, atau barangkali semacam hijab yang menyelubungi sesuatu. Bagi mereka, tidak mungkin hidup ini kacau balau, tidak mungkin jika realitas ini paradoks, kontradiksi, ngaco. Tidak! Pasti ada sesuatu yang bersembunyi di sana, yang menunggu mahluk puncak evolusi kera, menyibaknya. Ada sesuatu yang menunggu ditelanjangi, disingkap kerahasiaannya. Bagi mereka, sang misterius ini, laiknya perempuan yang berhasrat untuk di tangkap, namun ia ditopengi, dan mereka yakin si misterius ini ingin dibebaskan dari topeng ini. Tapi topeng ini begitu likat, sehingga butuh usaha tersendiri untuk memecahkannya.
Para pemecah topeng ini sangat banyak, mereka mengklaim diri sebagai pecinta kebijaksanaan, pencumbu kebenaran—meskipun kadang kala dengan jumawa mereka mengklaim telah menemukan kebijaksaan.
Entitas itu ada, dan ia bernama Idea. Penemu sang perempuan ini ternyata adalah Platon, sang filsuf yang terkenal jengah dengan demokrasi dan tirani Athena pada zamannya. Baginya, realitas yang menampakan diri secara material ini hanyalah derivasi dari realitas adi-duniawi, yang tentu saja, bertahta lebih tinggi ‘di atas’ realtias duniawi. Realitas material ini hanyalah isi dari suatu cetakan, dan bahwasannya cetakan itulah yang lebih riil dibanding yang-lain daripadanya. Topeng itu yang material, sedangkan isi dari topeng adalah Idea.
Ternyata Platon salah besar bagi para filsuf selanjutnya. Sang misteri itu bukanlah Idea, namun Cogito, tapi Noumena, melainkan Monads, akan tetapi Roh Absolut, selain Tuhan, begitulah para filsuf mencoba memecah cangkang yang menutupi sang realitas sejati, atau barangkali kita bisa menyebutnya Sang Kebenaran! Tak hanya nama-nama itu saja yang muncul dalam hamparan sejarah para pencari kebenaran, nama-nama lain dari entitas yang sembunyi itu masih banyak lagi, masih beragam lagi. Tapi, jika ditelisik, ternyata sudah ribuan tahun lamanya, para pengaju proposal  kebenaran ini disenggol melulu oleh para pengaju-pengaju lainnya. Sia-sia kah mereka?
Dengan Jumawa mereka bilang, inilah usaha para pecinta kebijaksaan. Lalu sebagai penonton para pencari kebenaran ini, yang bergulat satu sama lain, kita bisa mengajukan pertanyaan polos: “Jadi sebenarnya siapa yang menemukan kebenaran? Atau, mungkinkah ini cuma ajang kontestasi para pengklaim penyibak kebenaran?”
Nietzsche bersabda, pencarian kebenaran hanyalah bentuk pengolahan rasa sakit para filsuf. Jadi, juru bicara Zarathustra ini bilang, bahwa problemnya bukan kebenaran itu sendiri, tapi soalnya ialah diri si pencari itu sendiri. Kita bayangkan bahwa Nietzsche menghambur ke tengah ring gulat, lalu menginterupsi para filsuf yang sedang menghantam satu sama lain, lalu bicara: “Tunggu, sepertinya ini semua bukan soal kebenaran, tapi diri kalianlah yang menjadi soal”. Ungkapan Nietzsche, dengan stetoskopnya ia mengecek dada dari masalah-masalah filsafat, ia mencoba menganalisis masalah yang menghampar. Stetoskop itu bernama Genealogi.
Genealogi ini ‘mencoba menajawab’ pertanyaan, apakah sesungguhnya yang dikehendaki sang penghasrat kebenaran? Lalu, mengapa mereka menghasratinya? Jadi, sebelum bicara kebenaran, Nietzsche merebahkan para filsuf di kursi khusus analisan dan memeriksanya terlebih dahulu, karena jangan-jangan mereka sakit. Dan ternyata jawaban Nietzsche ialah: “Kalian ternyata sakit, kalian ternyata terserak, diri kalian ternyata kacau balau, sehingga membutuhkan suatu hal di luar diri kalian agar kalian dapat membuat kedirian kalian seimbang”.
Kebenaran atau isi dari perbincangan mengenai kebenaran, bukanlah soal utama dari filsafat, bahkan pembicaraan itu sama sekali tidak penting. Karena isi atau perbincangan itu bisa digonta-ganti dengan mudah. Buktinya, kita bisa lihat dalam alur gerak sejarah filsafat. Para filsuf bicara mengenai isi, dan isinya sepanjang 2000 tahun lebih telah bergonta-ganti sedemikian rupa, dan tak ada salah satu di antaranya yang benar-benar sebagai benar, di antara benar benar lainnya.
Inilah yang disebut dengan idee fixee. Ide fixee ini begitu dihasrati, dan menjadi pegangan bagi para filsuf. Bahkan tak hanya para filsuf, namun kalangan selain filsuf pun demikian, entah itu saintis atau pun agamawan. Tapi, sekali lagi, tak peduli ide fixeenya apa, yang menjadi masalah adalah mengapa kita begitu menghasratinya, bahkan tak jarang secara fanatik! Tentu saja, para filsuf, saintis atau pun agamawan akan menjawab, bahwa mereka menghasratinya karena kita memang mencari kebenaran. Namun, Nietzsche akan bertanya lagi, tapi mengapa mesti kebenaran? Ada apa dengan si kebenaran? Lalu ada apa dengan si salah? Mengapa kita begitu reaktif dengan kesalahan? Mereka bisa menjawab, karena kebenaran itu baik dan berguna. Ternyata, jawaban atas pertanyaan tersebut terjatuh pada suatu imperatif, yang bagi Nietzsche, bersifat moral. Maka dari itu, sangat masuk akal jika Nietzsche mendeteksi terlebih dahulu si ‘subjek’, karena moral itu sendiri tentu berkaitan dengan subjek. Tentu saja, bisa disebut bahwa analisa Nietzsche berjangkar pada analisa nilai.
Tadi sempat disebutkan bahwa ada subjek yang terserak. Nietzsche memulai narasinya dari sana. Bagi Nietzsche, jawaban atas pertanyaan mengapa subjek yang terserak ini menghendaki kebenaran ialah karena mereka butuh keseimbangan. Mereka tak akan mungkin bisa hidup dalam khaos, mereka membuthkan suatu hal ‘yang kosmos’, agar mereka bisa hidup. Maka dari itu, bagi Nietzsche, mereka tidak benar-benar mendapatkan realitas yang absolut atau kebenaran, karena kebenaran itu sendiri berjangkar pada diri subjek yang sedang mengutuhkan diri. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan para filsuf yang mengklaim bahwa kebenaran itu sendiri independen, dan ia berada di sebrang sana, terlepas dari diri subjek. Perspektif! Ttulah kiranya bahasa yang lebih singkat terkait hasil analisa Nietzsche. Yang ada cuma perspektif tentang kebenaran, dan bukan kebenaran itu sendiri.
“Kebenaran adalah kesalahan yang mana manusia tak bisa hidup tanpanya” ujar Nietzsche. Beliau berkata demikian, karena ternyata kita tak pernah benar-benar menangkap kebenaran, tapi yang kita dapat hanyalah kesalahan. Bisa jadi tafsir atas pernyataan itu ialah, bahwa kebenaran itu ‘tak pernah ada’, karena yang ada hanyalah perspektif. Namun toh mereka juga membutuhkannya. Untuk apa? Untuk keutuhan dirinya sendiri.
Nietzsche lalu bertanya lagi, lantas jika memang realitas itu khaos, so what? Nah, kita baru bisa menggolongkan Nietzshce ke dalam golongan kedua dari pertanyaan/persoalan kita di beberapa paragraf sebelumnya. Nietzsche mengafirmasi bahwa realitas itu paradoks. Kehidupan itu penuh dengan kontradiksi, kekacauan, khaos. Lalu apa? Kehidupan dilingkupi oleh kebenaran dan kesalahan, lalu memangnya kenapa? Kenapa kita begitu rusuh, lalu memenggal bagian lain dari realitas, yang dalam hal ini adalah kesalahan. Mengapa? Jawabannya tentu saja, kedirian kita yang tak tahan dengan khaos itu sendiri, sehingga kita butuh suatu yang utuh. Lebih jauh, kenapa kita begitu butuh suatu hal yang berada ‘di luar’ diri? Karena ada yang bermasalah dengan diri!
Jika diri kita utuh, maka kita tak perlu lagi bersungut-sungut untuk mengutuk kesalahan. Tak perlu lelah dengan kontradiksi dan paradoks yang adalah realitas itu sendiri. Realitas ya realitas, dan ia bukanlah yang kita belah, dan lalu kita hakimi sebagai: “yang ini loh kebenaran.” Bukan, ia adalah perempuan yang tak mau disingkap punggungnya. Jadi si misterius, atau si perempuan ini bukan ingin dibebaskan, atau dilepaskan topengnya. Tapi, karena memang ia enggan untuk menyibakan dirinya, dan itulah kedigdayaan realitas.
Tapi sebentar, apakah ketika kita menyebutkan bahwa masalahnya adalah subjek yang terserak, bukankah Nietzsche menemukan ‘kebenaran’ lainnya? Nietzsche akan terkekeh dengan pertanyaan ini, karena ia akan bilang bahwa, subjek pun sebenarnya adalah khaos itu sendiri. Jadi ‘diri’ kita itu sendiri bukanlah diri, ia adalah kontradiksi lainnya.
Jadi dalam diri kita terjadi pertengkaran juga, terjadi khaos juga. Dan yang khaos dalam diri ini disebut Nietzsche sebagai kehendak untuk berkuasa. Jadi terjadi peperangan antar daya yang ada di dalam diri.  Namun, kehendak ini bukanlah suatu hal yang biasanya kita pertentangkan dengan rasio, ia adalah suatu hal yang lain daripada itu. Kata kehendak, adalah alat bantu kita untuk menyebut suatu hal yang khaos itu sendiri, atau dalam bahasa lain semacam pengkataan terhadap realitas yang paradoksal, dan ia sama sekali tidak merepresentasikan apapun. Ia adalah kata yang telat untuk mencerminkan realitas.
Perlu diketahui bahwa Nietzshce sempat membuat semacam hipotesa tipologi terhadap subjek. Ada mentalitas tuan dan mentalitas budak. Apa yang sudah kita jabarkan di atas, mengenai subjek yang terserak, digolongkan Nietzsche kepada mentalitas budak. Mentalitas budak itu semacam manusia yang tak utuh kediriannya, semacam manusia yang tak berhasil mengutuhkan kontradiksi yang ada di dalam dirinya, sehingga ia mencari suatu hal yang di luar dirinya untuk keutuhannya; dan tentu saja sambil memenggal realitas dengan cara menyingkirkan bagian dari realitas, yang dalam hal ini ialah kesalahan.
Sedangkan mentalitas tuan ialah, subjek yang berhasil mengkosmoskan realitas, sehingga ia tak perlu mereaksi suatu hal di luar dirinya. Namun, pengkosmosan ini tak dijadikan suatu hal yang absolut, karena ia pun akan kembali menjadi khaos, dan begitu seterusnya. Begitu juga ketika ia berhadapan dengan realitas, ia tak berpretensi untuk mengkosmoskan lalu mengabsolutkan, karena ia berani mengkhaoskan realitas kembali.
Barangkali kita pernah mendengar adagium Nietzshce yang terkenal, bahwa Tuhan telah mati dan kitalah yang membunuhnya. Memang benar, Tuhan telah mati. Dibalik kehendak kita akan kebenaran, sebenarnya ada suatu hal yang mengerikan, yakni kehendak akan kematian. Realitas pada akhirnya kita bunuh, kita penggal, kita cacah untuk keutuhan kita sendiri. Tuhan ini bukan hanya entitas Dzatiah ala-ala kaum monoteis dan semacamnya, Tuhan pun bisa ‘berkamuflase’ dalam bentuk lainnya selain entitas metafisik, misalnya ideologi atau saintisme. Dan Tuhan, dengan T besar inilah, yang kita bunuh. Sereligius apapun kita dalam—misalnya—beragama, selama kita mengabsolutkan suatu hal, kita sebenarnya sedang menyayat leher Tuhan, laiknya para penyembelih ayam di pasar. Dengan pongah kita berteriak inilah Tuhan, padahal tangan kotor kita, tangan berdosa kita, sedang menyembelih Tuhan. Dan menariknya, kita tuli akan jeritan dan rintihan Tuhan. Padahal ia sedang meminta tolong agar menghentikan proses pembunuhan kita. Ia sedang meminta ampun, tapi kita terlalu tuli dan buta melihatnya. Atau barangkali imaji skizofrenik kita menutupi kesakitan Tuhan?
“Setidaknya aku lebih saleh” kata Nietzsche. Karena baginya, realitas ya realitas. Realitas bukanlah suatu hal yang kita tangkap ini atau itu. Bukan. Ia adalah realitas lain dari kelainannya, yang entah berada di mana, tapi juga dalam keentahannya ia berada di suatu tempat. Nietzsche, bisa lebih sopan di hadapan sang perempuan. Jika para filsuf mencoba memerkosa perempuan itu dengan merobek bajunya, Nietzsche membiarkan si perempuan membalut dirinya dengan busana. Sungguh ia lebih beradab dan lebih sopan!
Nietzsche adalah anak kecil polos yang bermain dengan realitas khaos. Nietzshce bukanlah unta, yang semakin bergairah ketika ia dibebani realitas, dan juga bukan singa, yang semakin bergairah ketika ia menolak realitas. Nietzshce melampaui kutub reaktif itu, kita pakai saja istilah ini untuk membantu kita memahami konsep itu: ia bukan ateis namun juga bukan teis. Ia anak kecil, ia tidak reaktif, namun kreatif. Anak kecil polos, tidak begitu menghasrati secara buta terhadap suatu hal di luar dirinya, ia dengan lugu bisa mengkosmoskan realitas, namun dengan lugu juga mengkhaoskan realitas. Karena ia tahu diri.
Tentu saja, Nietzshce bukanlah sebagaimana dikonsepsikan orang, bahwa ia jengah atau capek, apalagi marah terhadap kondisi filsafat. Bukan. Karena jika demikian, Nietzshce berarti telah termakan dengan omongannya sendiri. Ia bukanlah manusia ressentiment.
Juga perlu diketahui, bahwa omongan Nietzshce dari awal sampai akhir, bukanlah suatu konsep yang absolut. Apa yang disabdakan Nietzshce hanyalah hipotesis, semacam tawaran, dan bukan produk metafisika lainnya (Tentu ini bertentangan dengan Pendapat Heidegger yang mengatakan bahwa Nietzsche adalah metafisikus terakhir). Bahkan tulisan ini juga bukan semacam penjabaran bahwa, inilah konsep Nietzsche yang paling benar, bukan. Tulisan ini hanyalah sebentuk usaha dalam mereflesikan Nietzshce secara elegan, dan bukan reaktif! Ini juga toh hanya tawaran refleksi.


[1] Refleksi ini dijabarkan mengikuti gaya Romo Setyo Wibowo dalam bukunya yang berjudul Gaya Filsafat Nietzsche
Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: