IDE DASAR & DIALEKTIKA FILSAFAT GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL

IDE DASAR & DIALEKTIKA FILSAFAT GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL


IDE DASAR & DIALEKTIKA FILSAFAT GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL


Dialektika Hegel[1]

Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal budi manusia. Dan kini nampaknya otonomi akal budi itu harus direalisasikan. Pada Kant, realisasi itu tak mungkin terjadi, karena ajran Kant membatasi otonomi akal budi menjadi semata-mata subyektif. Artinya akal budi sungguh tidak mungkin menjadi obyektif, karena hal diluar dirinya tetap das Ding an sich (benda atau hal pada dirinya sendiri). Das Ding an sich itu tidak mungkin diketahui atau dipengaruhi oleh akal budi manusia. Akibatnya, meskipun mengakui otonomi akal budi manusia, otonomi itu tidak berarti apa-apa terhadap hal diluar dirinya ia tidak dapat menjadi obyektif.[2]
Hegel “mencoret” Das Ding an sich tersebut. Dan ia mengajarkan bahwa akal budi harus dan dapat merealisasikan dirinya tanpa halangan apapun. Akal budi tidak perlu lagi “kritis” terhadap dirinya, ia harus menjadi “affirmatif” (membenarkan dan menyatakan dirinya), karena pada hakekatnya akal budi tlh mencapai kesempurnaan pada dirinya sendiri, yakni kesempurnaan dalam roh. Kira-kira Hegel menganggap roh tersebut sebagai ancaman Akal Budi Absolut yang menjelma dalam akal budi manusia. Dengan demikian akal budi manusia juga menjadi sempurna dalam roh.
Dengan dialektikanya, Hegel hendak mengetengahkan bahwa akal budi dalam usahanya untuk menjadi kesadaran diri yang sempurna ternyata mengalami proses yang tidak terlalu sederhana. Ia mengalami pelbagai halangan dan pembatasan untuk menjadi dirinya. Meski demikian justru semuanya itu yang makin menjadikan dan menetapkan kesadaran diri manusia. Menurut Hegel, malahan halangan dan pembatasan itulah merupakan tempat dimana potensi manusia yang tersembunyi seharusnya menyatakan diri.
Hegel misalnya mengutarakan bagaimana seorang budak akan mempunyai kesadaran diri yang lengkap justru karena tekanan tuannya.[3] Maka seluruh proses itu harus digali dengan teliti, kalau tidak kita hanya akan mendapat kesadaran diri yang tidak lengkap. Itulah tujuan dialektika Hegel. [4] Berikut ini djelaskan bagaimana dialektika Hegel tersebut. Dan dialektika Hegel meliputi;
Pertama, berfikir secara dialektik berarti berfikir dalam totalitas. Totalitas ini bukan berarti semata-mata keseluruhan, dimana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari) saling berkontradiksi (melawan dan dilawan) dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Tidak mungkin unsur-unsur itu hanya berdiri sejajar atau bergabung tanpa kontradiksi, negasi dan mediasi. Yang terakhir ini hanya dapat dibayangkan secara abstrak, sehingga hanya merupakan kesadaran yang kosong belaka. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak itu. Misalnya antara individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakatnya.
Kalau individu tidak saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi dengan masyarakatnya, maka individu tidak jadi menemukan dirinya yang sesungguhnya; sebaliknya masyarakat juga tidak dapat menjadi makin sempurna, tinggal seperti semula, tanpa perubahan apa-apa. Dalam hubungan ini mesti dicatat bahwa pemikiran dialektis mempunyai kontradiksi, negasi dan mediasi sebagai ciri dan sifatnya. Kompromi dengan gampang dicapai dengan persetujuan, dimana unsur-unsurnya yang bertentangan dengan mudah pula diabaikan. Kompromi dengan demikian menjadi sekedar perpaduan. Malahan dalam arti tertentu kompromi bisa berarti saling meniadakan unsur-unsur yang saling bertentangan. Lain dengan pemikian dialektis. Pemikian dialektis justru mengharuskan unsur-unsur tersebut saling bertarung; semua unsur dianggap mempunyai potensi kebenaran, jadi tidak boleh ditiadakan. Juga unsur-unsur tersebut dibiarkan saling bernegasi; dengan saling mengingkari dan diingkari, setiap unsur berhak mempertahankan dirinya serentak juga makin memahami kebenaran dirinya, sementara ia juga melihat bahwa unsur lain tidak boleh dikorbankan demikian saja, justru karena unsur lain tersebut mati-matian mempertahankan dirinya dengan cara mengingkari kebenaran lawannya. Lalu unsur-unsur tersebut saling bermediasi: tiap pihak merasa diperkaya jika ia diperantarai oleh lawannya, lawannya ternyata memberikan sesuatu yang tidak dipunyainya, demikian pula sebaliknya. Jelaslah bahwa proses dialektis tidak dapat sekedar dirumuskan sebagai “thesis”—“antithesis”—synthesis”. Rumusan sederhana ini bisa menggabungkan proses dialektis yang sesungguhnya menjadi semata-mata kompromi yang berarti perpaduan dan malah bisa berarti saling meniadakan.[5] Proses dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yakni “rekonsiliasi” (aufhebung), dimana tercakup pengertian “pembaharuan”, “penguatan” dan “perdamaian”.
Kedua, seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang bekerja” (working reality).[6] Disini akan menjadi jelas bahwa proses dialektis yang meliputi kontradiksi, negasi dan mediasi itu bukan semata-mata abstrak, melainkan terjadi dalam realitas.
Makin akan jelas pula bahwa “rekonsiliasi” itu bukan sekedar perpaduan yang statis, melainkan suatu realitas yang senantiasa bekerja. Realitas yang sedang bekerja itu merupakan proses dari pernyataan diri akal budi manusia yang telah mencapai kesempuraannya dalam Roh Absolut:

Buat Hegel, realitas bukan sesuatu yang statis, jadi bulat, sesuatu “subtansi”, melainkan berkembang, mengasingkan diri, menemukan diri kembali, menyadari diri melalui taraf-taraf dialektis yang semakin mendalam; realitas itu “subyek”. Dibelakang realitas alam dan manusia dengan masyarakat dan pemikirannya berlangsunglah “proses” pernyataan diri roh alam semesta.[7]

Kalau proses dialektis itu dimengerti, sebagai realitas yang sedang bekerja, jadi bukan kesadaran semata-mata, maka proses dialektis itu juga merupakan sesuatu yang obyektif. Bahwa proses dialektis itu sungguh sesuatu yang obyektif, ini menjadi amat jelas dalam pandangan Hegel tentang pekerjaan manusia. Manusia yang akal budinya telah mencapai kesempurnaan dalam Roh, harus berkembang, harus menemukan diri, dan makin menjadi dirinya sendiri. Itu semuanya harus terjadi dalam dunia obyektif. Caranya, yakni lewat pekerjaannya. Bagaimana ini diterangkan? Secara singkat dapat dikatakan demikian: manusia dalam proses menyatakan dirinya ternyata menghadapi suatu dunia obyektif yang berada diluar dirinya, asing dan mengancam kediriannya, tetapi dunia itu ternyata dibutuhkannya, tanpa dunia obyektif itu, manusia tak mungkin berhasil menyatakan dirinya. Manusia tiba-tiba merasa bahwa dunia obyektif itu merupakan bagian dari dirinya, jadi meski dunia itu mengancam kediriannya, ia tidak boleh ditiadakan, karena meniadakannya sama dengan menghancurkan kedirian manusia sendiri. Maka masalahnya, bukan bagaimana menghancurkan dunia obyektif itu, tetapi bagaimana manusia dapat “berekonsiliasi” dengan dunia obyektif itu. Rekonsiliasi itu terwujud bila dunia obyektif merupakan obyektifitas, dari kedirian manusia. Disinilah letak pekerjaan manusia “memanusiakan” obyek-obyek diluar dirinya, sehingga obyek itu tidak tinggal alamiah dan terasing dari manusia melainkan merupakan pernyataan diri manusia. Proses “mamanusiakan” itu tidak terjadi dengan begitu mudah dan sederhana, sebab dunia obyektif itu sungguh merupakan hal asing bagi manusia. Malahan Hegel menggambarkan manusia pertama-tama sebagai keterasingan manusia dari dirinya sendiri, karena dengan pekerjaan manusia dipaksa meninggalkan kediriannya, masuk kedalam dunia obyektif, yang ternyata membelenggu dirinya dan memisahkannya dari kesadarannya. Tapi justru dalam keadaan inilah manusia dipaksa untuk makin menyadari kediriannya: lingkungannya yang asing itumakin memaksa manusia untuk “memanusiakannya”, sementara manusia juga menyadari makin ia berhasil “memanusiakan” lingkungannya lewat pekerjaannya, makin ia menjadi manusia.[8] Bukan kesempatannya disini untuk membicarakan filsafat pekerjaan Hegel. Maksudnya hanyalah untuk menunjukkan bahwa proses dialektis sebagai “realitas yang sedang bekerja” itu terlihat dalam pekerjaan manusia: kontradiksi dan negasi antara manusia dan dunia obyektif, juga mediasi antara manusia terhadap lingkungannya, ini semua akhirnya mengarah kepada “rekonsiliasi” antara manusia dan lingkungannya, dan dengan demikian manusia juga makin memahami kediriannya, serentak lingkungannya juga diangkat ke derajat lebih tinggi, karena telah “dimanusiakan” oleh manusia.
Ketiga, berfikir dialektis berarti berfikir dalam perspektif empiris-historis.[9] Disini perlu dibedakan antara kontradiksi dialektis dan kontradiksi logis. Menurut logika tradisional, dua proposisi (tesis dan antitesis) tidak pernah benar kedua, duanya. Menurut pemikiran dialektis, anggapan tersebut sangat tidak memadai dengan kenyataan empiris hitoris. Dalam kenyataan empiris, setiap proposisi mempunyai hak untuk berada dan dianggap benar, sehingga tidak begitu saja ditiadakan atau dianggap tidak benar oleh proposisi lawannya. Jelaslah bahwa pemikiran dialektis menolak pemikiran yang sama sekali formal. Pemikiran formal dapat membayangkan secara abtrak adanya satu kebenaran yang dapat meniadakan kebenaran-kebenaran lainnya. Sedangkan pemikiran dialektis menekankan isi atau subtansi dari masing-masing kenyataan empiris yang tidak boleh saling mengecualikan. Pemikian dialektis dengan demikian mengarah pada pendekatanyg lebih kaya dan dalam.
Misalnya ia tidak berfikir tentang “lurus” sebagai lawan “tidak lurus” melainkan sebagai berlawanan dengan “bengkok”, “melengkung”, “zig-zag” dan sebagainya. Sehubungan dengan pengertian dialektis yang menekankan perspektif empiris historis ini, patus dikemukakan pula bahwa pemikiran dialektis menolak teori identitas subyek-obyek. Teori identitas subyek-obyek menekankan bahwa kesadaran (subyek) sudah mencapai kesatuannya dengan hal-hal diluar kesadaran (obyek), sehingga hal-hal diluar kesadaran sudah merupakan obyektifikasi paripurna dari kesadaran, dan dengan demikian tercapai pula identitas antara apa yang memahami (subyek) dan apa yang dipahami (obyek). Paham identitas obyek-obyek ini akhirnya yakin bahwa kesadaran (subyek) mampu mengadakan realitas. Teori identitas ini sama sekali bertentangan dengan pemikiran dialektis yang empiris-historis. Dilihat dari perspektif historis-empiris, kesadaran dan relitas selalu mengasingkan: realitas selalu menjadi hambatan bagi kesadaran untuk merealisasikan dirinya secara penuh dan sebaliknya kesadaran terlalu miskin untuk menuntut dirinya sebagai “sama kaya” denga realitas. Dalam kehidupan ini selalu terjadi konflik antara keduanya, sebab kehidupan ini bukan suatu realitas melainkan realisasi: realisasi yang mengarah pada kesatuan subyek-subyek secara makin sempurna. Teori identitas subyek-obyek menyempitkan kehidupan ini semata-mata sebagai realitas. Ini hanya bisa digambarkan sebagai angan-angan naif, yang menyingkirkan sama-sekali ciri kehidupan yang empiris dan historis, dimana terjadi banyak konflik. Hegel sendiri menyebut periode tanpa konflik karenanya juga periode kebahagiaan sebagai “periode mati” dari sejarah.[10] Jadi menurut faham dialektis, kontradiksi antara subyek dan obyek tidak bakal diselesaikan, justru dalam kontradiksinya itu keduanya diangkat kedalam derajat lebih tinggi lewat proses dialektis sehingga terjadi “rekonsiliasi” (penguatan, pembaharuan, dan perdamaian) yang sungguh baru.
Keempat, berfikir dialektis berarti berfikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis.[11] Sering terjadi kesalah-pahaman bahwa persoalan kesatuan teori dan praxis dianggap sebagai persoalan bagaimana suatu teori itu applicable (dapat diaplikasikan atau diterapkan) untuk suatu kehidupan praktis. Kesalah-pahaman ini muncul karena kurangnya pengertian akan asal-usul persoalan kesatuan teori dan praxis. Aristoteles yang pertama memunculkan persoalan itu.[12] Menurut Aristoteles, masalah kesatuan teori dan praxis muncul bukan disebabkan oleh pertanyaan bagaimana suatu teori itu applicable melainkan disebabkan oleh pertanyaan orang Yunani terhadap dua dimensi kehidupan: manakah yang lebih luhur, teori (bidang kontemplatif atau teoretis) atau praxis (bidang kegiatan praktis). Bidang teori memang luhur, karena disinilah manusia berhubungan dengan “yang ilahi”. Aristoteles sendiri memuji kontexplasi sebagai athanatizien (imortalitas). Tapi praxis, yang pada zaman Aristoteles dimengerti sebagai kegiatan hidup berpolitik, tidak bolek diabaikan, karena justru kalau manusia aktif dalam bidang inilah maka ia disebut sebagai manusia. Aristoteles menyebut bidang kegiatan politik itu sebagai antropeuesthai (berada sebagai manusia). Orang memang harus mengejar lebih jauh daripada sekedar menjadi manusia, jadi ia harus berteori. Tapi kalau melulu berteori, ia tidak dapat menjadi warga negara yang baik, akibatnya ia akan terasing dari sesama manusia (bios xenikos) dan tidak dapat ikut dalam koinomia (persaudaraan). Disinilah awal mula munculnya ketegangan teori da praxis. Jadi orang Yunani menganggap teori sebagai dua dimensi hidup dari manusia yang satu dan sama, da keduanya harus dijalankannya tanpa saling mengecualikannya. Ini jelas berbeda dengan pengertian orang yang salah faham bahwa persoalan teori dan praxis mesti dipikirkan sebagai persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan praktis, sebab pengertian ini seakan menganggap bahwa teori dan praxis sebagai dua budang yang berbeda (padahal teori dan praxi hanyalah dua dimensi dari manusia yang satu dan sama) sehingga satu sama lain memang dapat saling dipisahkan dan saling mengecualikan. Befikir dialektis adalah sama dengan berfikir dalam kesatuan teori dan praxis seperti dalam pengertian Aristoteles.[13] Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praxis yang harus dijembatani, melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praxis. Menurut Hegel teori semacam itu berpangkal pada realitas, a harus meliputi kesadaran kita tentang realitas, termasuk kemampuan kita untuk mengubah realitas. Teori macam ini tidak lagi membutuhkan aplikasi terhadap realitas, sebab realitas sudah termasuk didalamnya. Teori macam ini sifatnya “afirmatif”, artinya mau menyatakan diri menjadi realitas. Hegel yakin hal tersebut bisa dilaksanakan karena pada hakekatnya kesadaran (teori) sudah mencapai kesempuraan dalam roh, didalamnya terkandung realitas yang sudah saatnya “diafirmasikan” (dinyatakan keluar), kelak murid-murid Hegel, lebih-lebih golongan kiri, tidak setuju dengan anggapan Hegel itu, tetapi pada hakekatnya mereka semua sepakat bahwa sudah saatnya teori melahirkan diri ke dunia, menumbuhkan praxis.[14] Mereka berusaha untuk menemukan teori yang benar-benar tepat dalam hubungannya dengan praxis. Filsafat mereka tidak lagi bersifat kontemplatif, tetapi filsafat praxis, filsafat yang ingin aktif “mengubah dunia”. Sekolah Frankfurt sendiri mempunyai keprihatinan mendalam terhadap praxis. Kata Martin Jay dalam bukunya Dialectical Imagination:

Untuk sebagian dapat dikatakan bahwa Sekolah Frankfurt kembali kepada keprihatinan kaum Hegelian Kiri pada tahun 1840. seperti geerasi pertama pemikir kritis (kaum Hegelian Kiri), Sekolah Frankfurt menaruh minat pada integrasi filsafat dan analisa sosial. Mereka memakai metode dialektika warisan Hegel, dan seperti pendahulunya, mereka meletakkan metode tersebut pada arah yang sifatnya materialis. Dan akhirnya, seperti beberapa dari kaum Hegelian Kiri, mereka terutama tertarik untuk memeriksa kemungkinan untuk merubah tatanan sosial lewat praxis manusiawi.[15]

Jay juga menyebut Sekolah Frankfurt sebagai “kebangunan kembali kaum Hegelian Kiri di abad ini”.[16] Meskipun sekolah Frankfurt sangat mengagumi filsafat Hegel, dan malah menurunkan arti kritis dari pengertian dialektis dari Hegel, mereka juga mengkritik idealisme Hegel sebagai kurang memadai untuk suatu teori kritis. Hegel memang sudah mengetangahkan tentang “rekonsiliasi” antara realitas dan kesadaran, tapi “rekonsiliasi” tersebut hanya terdapat dalam pemikiran, hanya difahami saja, sedangkan pada kenyataannya, kesesuaian itu belum terjadi, pemahaman Hegel benar-benar suatu pemahaman belaka, artinya Hegel belum mengeluarkan pemahaman itu sebagai suatu kenayataan. Disini dialektika Hegel lalu menjadi semata-mata “transfiguratif” (mengatasi kenayataan tapi hanya dalam angan-angan belaka). Max Horkheimer mengatakan tuduhan itu dalam karyanya Concerning the Problem of Truth:

Hegel percaya bahwa pemikirannya telah merangkul esensi dari semua yang ada, dan dalam sistemnya telah menyatukan semua esensi itu kedalam suatu hirarki yang sempurna dan mencukupi dirinya sediri, tak terpegaruh oleh perkembangan dan perilaku individu-individu. Itu semuanya semata-mata berarti pengabadian kondisi-kondisi dasar manusiawi  dalam pemikiran. Dialektika Hegel dengan demikian mengandaikan suatu fungsi “transfiguratif”. Tatanan sosial dimana menurut Hegel masih terdapat penjajahan dan perbudakan, kekayaan dan kemiskinan, dibenarkan dalam suatu pemikiran konseptual dalam mana mereka diserap. Semuanya itu dihadirkan sebagai bernilai lebih tinggi, sebagai “Ilahi” dan “Absolut”.[17]

Jelaslah bahwa menurut pemahaman Hegel, penindasan, kemiskinan itu sudah tidak ada lagi, malah sudah dianglat untuk mendapat nilainya yang lebih tinggi, padahal kenyatannya semuanya itu masih ada. Hegel dengan mudah juga menyebut sudah tercapa identitas antara kesadaran dan realitas, tapi itupun hanya terjadi dalam pemahamanya saja, yakni pemahama oleh akal budi yang telah mencapai kesempurnaanya dalam Roh Absolut. Pada Hegel, kebahagiaan dan kebebasan hanya ada dalam kontemplasi, sedangkan yang terjadi dalam kenyataan adalah ketidakbahagiaan dan penindasan.



[1] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional; Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt (Jakarta: Gramedia, 1982) h. 32-40.
[2] Lih. Nicholas Lobkowicz, Theory and Practice: History of a Concept from Aristotle to Marx (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1967) h. 144-145.
[3] Lih. G.W.F. Hegel, The Fenomenology of Mind, translate, with as introduction and notes by J.B. Baillie (London: George Allen and Unwin Ltd., 1966) h. 234-240.
[4] Sebagai garis umum penjelasan tentang dialektika Hegel dalam hubungan dengan Sekolah frankfurt kami ambil dari Andrew Arato dan Eike Gebhardt (ed.), The Essential Frankfurt School Reader (New York: Urizen Book, 1978) h. 396-404.
[5] Ibid., h. 398.
[6] Ibid.
[7] Franz Magnis-Suseno, Manusia dan Pekerjaannya, Berfilsafat bersama Hegel dan Marx dalam Soejanto Poespowardojo dan K. Bertens (ed.), Sekitar Manusia, Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1979) h. 76.
[8] Tentang Filsafat Pekerjaan Hegel, lih. Ibid., h. 73-83.
[9] Andrew Arato dan Eike Gebhardt (ed.), Op. Cit., h. 398-399.
[10] Ibid., h. 401                                                                 
[11] Ibid., h. 403-404.
[12] Penjelasan tentang teori dan praxis, lih. Nocholas Lobkowich, Op. Cit., ­h. 3-33.
[13] Bedakan dengan Andrew Arato dan Eike Gebhardt (ed.), Op. Cit., h. 403.
[14] Lih. Nocholas Lobkowich, Op. Cit., ­h. 193-214.
[15] Martin Jay, The Dialectical Imagination, A History of The Frankfurt School and The Institute of Social Research 1923-50 (London: Heinemann Educational Books, 1973) h. 42.
[16] Ibid., h. 43.
[17] Max Horkheimer, ”One The Problem of Truth” dalam Andrew Arato dan Eike Gebhardt (ed.), op. cit., h. 417.

Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: